5 S (Senyum, Salam, Sapa, Sopan, Santun
Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan
dengan berinteraksi dengan sesama ini, bagaimana kalau kita menyebutnya dengan
5 (lima) S : Senyum, salam, sapa, sopan,
dan santun.
S yang pertama adalah senyum.
Kita harus meneliti relung hati kita jikalau
kita tersenyum dengan wajah jernih kita rasanya ikut terimbas bahagia.
Kata-kata yang disampaikan dengan senyuman yang tulus, rasanya lebih enak
didengar daripada dengan wajah bengis dan ketus. Senyuman menambah manisnya
wajah walaupun berkulit sangat gelap dan tua keriput. Yang menjadi pertanyaan,
apakah kita termasuk orang yang senang tersenyum untuk orang lain? Mengapa kita
berat untuk tersenyum, bahkan dengan orang yang terdekat sekalipun. Padahal
Rasulullah yang mulia tidaklah berjumpa dengan orang lain kecuali dalam keadaan
wajah yang jernih dan senyum yang tulus. Mengapa kita begitu enggan tersenyum?
Kepada orang tua, guru, dan orang-orang yang berada di sekitar kita?
S yang kedua adalah salam.
Ketika orang mengucapkan salam kepada kita
dengan keikhlasan, rasanya suasana menjadi cair, tiba-tiba kita merasa
bersaudara. Kita dengan terburu-buru ingin menjawabnya, di situ ada nuansa
tersendiri. Pertanyaannya, mengapa kita begitu enggan untuk lebih dulu mengucapkan
salam? Padahal tidak ada resiko apapun. Kita tahu di zaman Rasulullah ada
seorang sahabat yang pergi ke pasar, khusus untuk menebarkan salam. Negara kita
mayoritas umat Islam, tetapi mengapa kita untuk mendahului mengucapkan salam
begitu enggan? Adakah yang salah dalam diri kita?
S ketiga adalah sapa.
Mari kita teliti diri kita kalau kita disapa
dengan ramah oleh orang lain rasanya suasana jadi akrab dan hangat. Tetapi
kalau kita lihat di mesjid, meski duduk seorang jamaah di sebelah kita, toh
nyaris kita jarang menyapanya, padahal sama-sama muslim, sama-sama shalat, satu
shaf, bahkan berdampingan. Mengapa kita enggan menyapa? Mengapa harus ketus dan
keras? Tidakkah kita bisa menyapa getaran kemuliaan yang hadir bersamaan dengan
sapaan kita?
S keempat, sopan.
Kita selalu terpana dengan orang yang sopan
ketika duduk, ketika lewat di depan orang tua. Kita pun menghormatinya.
Pertanyaannya, apakah kita termasuk orang yang sopan ketika duduk, berbicara,
dan berinteraksi dengan orang-orang yang lebih tua? Sering kita tidak mengukur
tingkat kesopanan kita, bahkan kita sering mengorbankannya hanya karena pegal
kaki, dengan bersolonjor misalnya. Lalu, kita relakan orang yang di depan kita
teremehkan. Patut kiranya kita bertanya pada diri kita, apakah kita orang yang
memiliki etika kesopanan atau tidak.
S kelima, santun.
Kita pun berdecak kagum melihat orang yang
mendahulukan kepentingan orang lain di angkutan umum, di jalanan, atau sedang
dalam antrean, demi kebaikan orang lain. Memang orang mengalah memberikan haknya
untuk kepentingan orang lain, untuk kebaikan. Ini adalah sebuah pesan
tersendiri. Pertanyaannya adalah, sampai sejauh mana kesantunan yang kita
miliki? Sejauh mana hak kita telah dinikmati oleh orang lain dan untuk itu kita
turut berbahagia? Sejauh mana kelapangdadaan diri kita, sifat pemaaf ataupun
kesungguhan kita untuk membalas kebaikan orang yang kurang baik?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar